Malam ini sebelum balik ke kosan aku memutuskan untuk membeli makan diwarung pinggir jalan, mumpung masih diluar rumah, sebab sesampai di rumah nanti aku ingin langsung istirahat selepas makan malam dan mandi.
Aku menghapiri warung pinggir jalan disekeliling kampus, salah satu warung yang sudah pernah kuhampiri suatu kali. Warung itu terlihat sepi, jukir pun tidak ada, satu motor pun tidak ada yang parkir disana, padahal menurutku makanan disitu lumayan enak, hasil coba beberapa saat yang lalu. Aku parkir motor disitu dan memesan Nila+Tempe goreng. Lalu duduk, menunggu.
Berkontemplasi.
Aku melihat bapak yang sebelum aku datang hanya duduk disalah satu sudut warung segera mengambil posisi untuk menggoreng : menyalakan kompor. Ibu yang menemaninya menyiapkan bungkusan nasi untukku. Dan ada seorang gadis kecil, aku jadi ingat Hani. Adikku, gadis kecil itu mungkin seumuran Hani, postur tubuh juga sama, kurus. Rambutnya yang agak panjang dikuncir, persis seperti Hani sehari-harinya. Aku jadi ingat hani, bedanya hanya warna kulit (dan wajah tentunya). Hani lebih kuning langsat, sedangkan gadis ini berkulit sawo matang, bawaan gen ayah-ibunya mungkin, atau terlalu sering terkena sinar matahari. Aku sibuk mengamati gadis kecil itu. Dia menyiapkan cobekan kecil untuk pengunjung warung beberapa orang yang juga baru datang ketika aku mampir diwarung itu. Dia mengisi cobekan dengan sambel, dan sayur lalap untuk kemudian ditambahkan lauk pesanan yang sedang digoreng oleh bapaknya. Ibunya menyiapkan nasi di piring selepas membungkus nasi milikku.
Aku memperhatikan setiap gerak si gadis kecil. Dia sabar, sabaar banget. Aku jadi ingat Hani, karena diam dan sabarnya mirip Hani, tidak banyak omong dan melakukan sesuatu seperlunya, tidak ada sesuatu mimik apapun dari wajahnya, sedih tidak, ceria pun tidak, tidak terdeteksi.
Lalu aku memperhatikan wajah Ayah. Sejak pertama kali aku ke warung ini, wajah Ayah selalu sama : tidak pernah bersahabat. Atau bisa dibilang murung terus. Entah mungkin bawaan lahir atau selalu ada sesuatu yang dia risaukan. Aku harap sih seperti itulah dia adanya. Aku jadi ingat wajah Ayah seorang teman SMP dulu. Ayahnya diam, tidak banyak bicara, senyumnya jarang, hampir tidak pernah bergurau tapi tidak pernah marah. Sehingga kesannya galak, ternyata penyabar. Aku harap Ayah yang aku liat dihadapanku saat ini Ayah yang setipe.
Aku melihat mimik Ibu, ketika memberikan bungkusan berisi pesanan ku. Aku berdiri, meraih dompet dan membayar sembari mengucap "terima kasih" dengan senyum yang tulus, manis sekali (I bet).
Aku tiba-tiba seperti menyayangi mereka.
Kontemplasi.
Selama aku memperhatikan semua itu, pikiranku berbicara, mumbling, satu hal. Pertanyaan yang pernah ditanyakan seseorang padaku : Apakah kamu sudah merasa bahagia dengan hidupmu?
Itu juga yang aku tanyakan pada diriku saat itu, tapi dengan objek orang ketiga : Apakah mereka bahagia dengan hidup mereka?
Aku teringat sebuah tayangan reality show yang ditayangkan pada sebuah stasiun TV swasta. Konsepnya, orang kota yang mapan dan sudah berpenghasilan (tentunya) mencoba menyentuh sebuah kehidupan lain, yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya. Entah berapa kali aku menonton tayangan TV itu, berapa kali aku menangis dibuatnya. (sesensi itu Ndrie? Iya, swear)
Kontemplasi.
Aku membayangkan kehidupan mereka. Berapa penghasilan mereka setiap harinya. Cukupkah memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan layak? Apa pernah mereka bepergian ke Mall dan memilih seuatu yang mereka inginkan, membayarnya tanpa perlu berpikir sebelumnya apa uang mereka cukup untuk membeli itu? Apa pernah mereka mengenal yang namanya internet dan betapa menyenangkan menghabiskan waktu didepan komputer berselancar melihat dunia dari jendela yang berbeda? Apa mereka pandai baca-tulis? Dan banyak sekali hal lain yang pernah kurasakan kupertanyakan pada diri sendiri, apa mereka pernah merasakannya??
Aku bersyukur.
Makanya aku selalu berusaha mengingatkan diri, bahwa Tuhan itu baik. Paling tidak berprasangka baik pada-Nya, bahwa aku telah diberi nikmat sedemikian ini dibandingkan orang-orang yang belum pernah mengecap semua ini. Aku menunduk dalam imaji, menggertak diri sendiri : cobalah tidak mendongak seperti itu!!
Ada satu hal lagi yang mencuat dalam ingatan.
Suatu kali aku pernah membaca postingan seorang teman di Multiply. Cerita tentang pengalaman pribadinya ketika berkendara dijalanan. Ada sebuah mobil mewah menyerempet mobilnya dan menyebabkan mobilnya sedikit penyok, bisa dibilang cacat lah, cacat yang butuh uang tidak sedikit untuk menormalkannya kembali. Tapi dia tidak lantas turun dan memaki-maki si sopir mobil mewah. Seketika dia melihat sopir itu, hatinya iba. Dia diam tak menuntut apa-apa dan melanjutkan perjalan sampai ke rumah. Dirumah, dia kena marah sama suami, beberapa sahabat yang tau kejadian itu, bahkan ibunya sendiri. Pernyataan sekaligus pertanyaannya sama : mengapa kamu tidak menuntut ganti rugi???
Dan aku kagum sama pemikiran dia, pemikiran yang berasal dari hati nurani. Dia lantas memandang seperti ini : pria yang menyerempet mobil saya hanya seorang sopir, yang mungkin gaji untuk menghidupi diri dan keluarganya saja tidak cukup dalam satu bulan, lalu untuk apa saya menuntut? Selain itu, saya tidak perlu marah dan turun dari mobil untuk memaki-maki dia, karena kita tidak pernah tahu keadaan dia, mungkin saja saat itu dia sedang ada masalah sehingga terganggu konsentrasinya dalam bekerja, lalu harus lagi dibebani dengan caci-maki yang tidak ada gunanya, hanya buat dosa?
Aku suka pernyataannya yang ini : orang adalah untuk disayangi, dimengerti, dan dihargai dan barang adalah untuk digunakan. Tapi nampaknya sekarang pemikiran kita telah jungkir balik, Barang ada untuk disayangi, dan orang untuk digunakan.
Hati nurani kita mungkin sedang tersamarkan oleh beban pikiran.
Oiya, seorang teman juga pernah cukup membuat aku terhenyak dan kagum atas pemikiran dia. Waktu itu dia bertanya pada seorang teman yang setiap harinya berangkat kuliah dengan naik kereta dari Solo menuju Jogja, turun di stasiun Lempuyangan. Anak itu menitipkan motornya setiap hari distasiun yang lantas dia gunakan melanjutkan perjalanan menuju kampus yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh.
Ketika seorang teman itu tahu bahwa anak itu tiap harinya naik motor untuk melanjutkan perjalanan menuju kampus, tanggapannya adalah : kenapa kamu engga naik becak? atau ojek? selain kamu tidak perlu terlalu boros dengan membayar biaya penitipan motor setiap harinya, kamu juga membantu mereka menghidupi kehidupan mereka. Damn! Thats away sooo cooL! Aku kagum, tapi aku tersenyum, mengangguk dalam hati.
Iya, iya, iya... aku ingin menyentuh lebih banyak mengenai hal ini. Aku ingin belajar lebih banyak untuk melihat sesuatu yang diluar kebiasaan biasanya. Aku ingin bisa bersyukur lebih sering. Jika aku bisa bersyukur dengan tulus hanya dengan melihat langsung sebuah realitas mengenai ketidak-beruntungan dan sebuah rencana Tuhan yang lain, aku ingin.. bisa terus diperjumpakan dengan kondisi-kondisi seperti ini. Berkontemplasi, dan memaknai, paling tidak hasil akhirnya aku lebih bisa ikhlas menerima segala yang buruk, dan sering bersyukur atas apa yang sudah aku miliki dan lalui.
Tuhan itu baik ya...
Aku menghapiri warung pinggir jalan disekeliling kampus, salah satu warung yang sudah pernah kuhampiri suatu kali. Warung itu terlihat sepi, jukir pun tidak ada, satu motor pun tidak ada yang parkir disana, padahal menurutku makanan disitu lumayan enak, hasil coba beberapa saat yang lalu. Aku parkir motor disitu dan memesan Nila+Tempe goreng. Lalu duduk, menunggu.
Berkontemplasi.
Aku melihat bapak yang sebelum aku datang hanya duduk disalah satu sudut warung segera mengambil posisi untuk menggoreng : menyalakan kompor. Ibu yang menemaninya menyiapkan bungkusan nasi untukku. Dan ada seorang gadis kecil, aku jadi ingat Hani. Adikku, gadis kecil itu mungkin seumuran Hani, postur tubuh juga sama, kurus. Rambutnya yang agak panjang dikuncir, persis seperti Hani sehari-harinya. Aku jadi ingat hani, bedanya hanya warna kulit (dan wajah tentunya). Hani lebih kuning langsat, sedangkan gadis ini berkulit sawo matang, bawaan gen ayah-ibunya mungkin, atau terlalu sering terkena sinar matahari. Aku sibuk mengamati gadis kecil itu. Dia menyiapkan cobekan kecil untuk pengunjung warung beberapa orang yang juga baru datang ketika aku mampir diwarung itu. Dia mengisi cobekan dengan sambel, dan sayur lalap untuk kemudian ditambahkan lauk pesanan yang sedang digoreng oleh bapaknya. Ibunya menyiapkan nasi di piring selepas membungkus nasi milikku.
Aku memperhatikan setiap gerak si gadis kecil. Dia sabar, sabaar banget. Aku jadi ingat Hani, karena diam dan sabarnya mirip Hani, tidak banyak omong dan melakukan sesuatu seperlunya, tidak ada sesuatu mimik apapun dari wajahnya, sedih tidak, ceria pun tidak, tidak terdeteksi.
Lalu aku memperhatikan wajah Ayah. Sejak pertama kali aku ke warung ini, wajah Ayah selalu sama : tidak pernah bersahabat. Atau bisa dibilang murung terus. Entah mungkin bawaan lahir atau selalu ada sesuatu yang dia risaukan. Aku harap sih seperti itulah dia adanya. Aku jadi ingat wajah Ayah seorang teman SMP dulu. Ayahnya diam, tidak banyak bicara, senyumnya jarang, hampir tidak pernah bergurau tapi tidak pernah marah. Sehingga kesannya galak, ternyata penyabar. Aku harap Ayah yang aku liat dihadapanku saat ini Ayah yang setipe.
Aku melihat mimik Ibu, ketika memberikan bungkusan berisi pesanan ku. Aku berdiri, meraih dompet dan membayar sembari mengucap "terima kasih" dengan senyum yang tulus, manis sekali (I bet).
Aku tiba-tiba seperti menyayangi mereka.
Kontemplasi.
Selama aku memperhatikan semua itu, pikiranku berbicara, mumbling, satu hal. Pertanyaan yang pernah ditanyakan seseorang padaku : Apakah kamu sudah merasa bahagia dengan hidupmu?
Itu juga yang aku tanyakan pada diriku saat itu, tapi dengan objek orang ketiga : Apakah mereka bahagia dengan hidup mereka?
Aku teringat sebuah tayangan reality show yang ditayangkan pada sebuah stasiun TV swasta. Konsepnya, orang kota yang mapan dan sudah berpenghasilan (tentunya) mencoba menyentuh sebuah kehidupan lain, yang bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya. Entah berapa kali aku menonton tayangan TV itu, berapa kali aku menangis dibuatnya. (sesensi itu Ndrie? Iya, swear)
Kontemplasi.
Aku membayangkan kehidupan mereka. Berapa penghasilan mereka setiap harinya. Cukupkah memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan layak? Apa pernah mereka bepergian ke Mall dan memilih seuatu yang mereka inginkan, membayarnya tanpa perlu berpikir sebelumnya apa uang mereka cukup untuk membeli itu? Apa pernah mereka mengenal yang namanya internet dan betapa menyenangkan menghabiskan waktu didepan komputer berselancar melihat dunia dari jendela yang berbeda? Apa mereka pandai baca-tulis? Dan banyak sekali hal lain yang pernah kurasakan kupertanyakan pada diri sendiri, apa mereka pernah merasakannya??
Aku bersyukur.
Makanya aku selalu berusaha mengingatkan diri, bahwa Tuhan itu baik. Paling tidak berprasangka baik pada-Nya, bahwa aku telah diberi nikmat sedemikian ini dibandingkan orang-orang yang belum pernah mengecap semua ini. Aku menunduk dalam imaji, menggertak diri sendiri : cobalah tidak mendongak seperti itu!!
Ada satu hal lagi yang mencuat dalam ingatan.
Suatu kali aku pernah membaca postingan seorang teman di Multiply. Cerita tentang pengalaman pribadinya ketika berkendara dijalanan. Ada sebuah mobil mewah menyerempet mobilnya dan menyebabkan mobilnya sedikit penyok, bisa dibilang cacat lah, cacat yang butuh uang tidak sedikit untuk menormalkannya kembali. Tapi dia tidak lantas turun dan memaki-maki si sopir mobil mewah. Seketika dia melihat sopir itu, hatinya iba. Dia diam tak menuntut apa-apa dan melanjutkan perjalan sampai ke rumah. Dirumah, dia kena marah sama suami, beberapa sahabat yang tau kejadian itu, bahkan ibunya sendiri. Pernyataan sekaligus pertanyaannya sama : mengapa kamu tidak menuntut ganti rugi???
Dan aku kagum sama pemikiran dia, pemikiran yang berasal dari hati nurani. Dia lantas memandang seperti ini : pria yang menyerempet mobil saya hanya seorang sopir, yang mungkin gaji untuk menghidupi diri dan keluarganya saja tidak cukup dalam satu bulan, lalu untuk apa saya menuntut? Selain itu, saya tidak perlu marah dan turun dari mobil untuk memaki-maki dia, karena kita tidak pernah tahu keadaan dia, mungkin saja saat itu dia sedang ada masalah sehingga terganggu konsentrasinya dalam bekerja, lalu harus lagi dibebani dengan caci-maki yang tidak ada gunanya, hanya buat dosa?
Aku suka pernyataannya yang ini : orang adalah untuk disayangi, dimengerti, dan dihargai dan barang adalah untuk digunakan. Tapi nampaknya sekarang pemikiran kita telah jungkir balik, Barang ada untuk disayangi, dan orang untuk digunakan.
Hati nurani kita mungkin sedang tersamarkan oleh beban pikiran.
Oiya, seorang teman juga pernah cukup membuat aku terhenyak dan kagum atas pemikiran dia. Waktu itu dia bertanya pada seorang teman yang setiap harinya berangkat kuliah dengan naik kereta dari Solo menuju Jogja, turun di stasiun Lempuyangan. Anak itu menitipkan motornya setiap hari distasiun yang lantas dia gunakan melanjutkan perjalanan menuju kampus yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh.
Ketika seorang teman itu tahu bahwa anak itu tiap harinya naik motor untuk melanjutkan perjalanan menuju kampus, tanggapannya adalah : kenapa kamu engga naik becak? atau ojek? selain kamu tidak perlu terlalu boros dengan membayar biaya penitipan motor setiap harinya, kamu juga membantu mereka menghidupi kehidupan mereka. Damn! Thats away sooo cooL! Aku kagum, tapi aku tersenyum, mengangguk dalam hati.
Iya, iya, iya... aku ingin menyentuh lebih banyak mengenai hal ini. Aku ingin belajar lebih banyak untuk melihat sesuatu yang diluar kebiasaan biasanya. Aku ingin bisa bersyukur lebih sering. Jika aku bisa bersyukur dengan tulus hanya dengan melihat langsung sebuah realitas mengenai ketidak-beruntungan dan sebuah rencana Tuhan yang lain, aku ingin.. bisa terus diperjumpakan dengan kondisi-kondisi seperti ini. Berkontemplasi, dan memaknai, paling tidak hasil akhirnya aku lebih bisa ikhlas menerima segala yang buruk, dan sering bersyukur atas apa yang sudah aku miliki dan lalui.
Tuhan itu baik ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar