Aku belum lupa rasanya mendengar lagu ini : Greatest love of all. Lagu kemenangan atas egoku, dulu. Dan kini kurasakan lagi. Aku baru saja merasa luluh lantah karena kehilangan dukungan dari orang yang ku kira harus sangat kusayangi dan kuhormati. Aku merasa kehilangan itu sebelum aku benar-benar pernah merasakannya. Aku yakin masih mencintainya sebab hatiku selalu sakit setiap kali mengingatnya, dan sepertinya aku akan mengamini perkataan orang-orang tentang cinta hanya berbeda tipis rasanya dengan benci. Aku merasa ditinggalkan, padahal aku butuh penjelasan yang menanyakan : pernahkah kau menanyaiku tentang bagaimana rasanya menjalani sekian banyak tanggung jawab seketika?? Aku memang tidak pernah dekat dengannya, tak pernah begitu dekat. Aku tak pernah bercerita begitu banyak hal kepadanya, dan aku tidak pernah ingin berusaha karena setiap kali aku baru memulai akan mengatakan sesuatu, aku runtuh.
Aku tidak merasakan memilikinya lagi, dan aku berdosa bahkan pernah berpikir seperti ini. Tuhan... jika dia memang masih mencintaiku, seharusnya ada penjelasan untuk pertanyaanku kan? Tapi dia tidak menjawabku, karena dia memang tidak pernah bertanya dan tidak pernah mau tau, bagaimana rasanya menjadi diriku.
Maafkan aku,
karena dimatamu, "Aku Bersalah".
Sejak kecil kita tidak pernah dibiarkan terbiasa mengatakan maaf ketika satu dari kita saling menyakiti. Yang ada, ketika salah satunya bersalah, maka ia akan mendapat teguran dan hukuman dari Ibu, atau Ayah. Bagi pihak yang benar, merasa menang. Setelahnya tidak ada kata-kata maaf yang akan terucap atas kesalahan dari pihak terhukum dan sang pemenang. Kami memang bersaudara, dan itu bukan masalah. Sebab sebesar apapun masalah, tidak akan membuat kita menjadi "mantan saudara", karena selamanya kita tetap bersaudara. Erat atau tidak, orang-orang akan tetap menyebut kita saudara, meski hanya sekedar sebutan.
Tapi beranjak dewasa, aku mulai sadar, hal-hal seperti itu yang membuatku merasa aneh bila harus meminta maaf, bahkan cenderung arogan dan berbuat sesuatu yang membuatku tampak menjadi pemenang, bukankah pemenang tidak selamanya dari pihak yang benar bukan? Itu hanya trik, membuat diriku selalu tampak suci dan menghindari kalimat "aku minta maaf", kepada siapapun.
Aku tidak mengkritik bagaimana pola didikan orang tuaku dulu, paling tidak aku tumbuh menjadi seseorang yang kuat dan tegas meski kadang-kadang dipandang arogan. Tapi aku belajar untuk bangkit dan belajar lagi dari banyak hal, termasuk pertengkaran-pertengkaran kecil yang masih terjadi pada sepasang saudara yang sudah dewasa, yang lebih menyakitkan. Tapi sekali lagi, tidak bisa membuatku atau adiku, atau kakaku mengatakan "aku minta maaf" ketika kedewasaan membuat kita sadar siapa yang bersalah. Aku sedih, karena aku masih disokong erat dengan ego.
Playlistku dengan cantiknya memainkan bait ini, tepat ketika aku menekan ENTER.
Let it go
Let it roll right off your shoulder
Don't you know
The hardest part is over
Let it in
Let your clarity define you
In the end
We will only just remember how it feels..
Satu masalah kecil akhirnya berlalu (lagi), tanpa kata maaf dari siapapun yang merasa bersalah. Tapi waktu lagi-lagi membuktikan kesetiaannya padaku, dia akan membuat semuanya baik-baik saja, dengan sadar atau tidak, sesungguhnya semua masalah harus diselesaikan sebagaimana itu dimulai, sengaja atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar