“ndrie, she’s the ‘girl’”. Seru seorang sahabat dari balik telepon diseberang sana, yang terpisah jarak sekitar 70 kilometer jauhnya.
“iyah, she kan emang kata ganti dari ‘perempuan’”. Seruku balik kepadanya sedikit bergurau, aku tahu betul maksud pembicaraannya.
Dia hanya tersenyum. Bahkan tak terlihatpun sudah kusimpulkan dia sedang tersenyum bahagia, sebentar lagi sahabatku akan menikah.
“bagaimana kau begitu yakin padanya, terlalu singkat yah..” kubuka pembicaraan yang agak sedikit serius kepadanya, padahal ujung-ujungnya juga akan berakhir gurauan, tidak jarang berakhir dengan ejekan. Betul-betul tidak sopan.
Sebenarnya inginku bercerita banyak tentang pribadi ini, tapi tidak sekarang, pikirku. Dia terlalu kompleks. Aku masih ingin melihat reaksi klimaks kehidupannya ketika dia nanti akhirnya menikah, semoga benar-benar bahagia sahabatku.
Baik, kembali pada pertanyaan yang tadi.
Dia menjawab dengan tenang, “iya, aku juga enggak tau ndri, semua mengalir gitu aja. Aku ga bisa berharap apa-apa lagi. Dia gadisku. Perempuan yang mencintai aku apa adanya, bukan karena ada apanya..”
Ehm..tunggu dulu. “benarkah? Memangnya sebelumnya mencintai kamu karena ada apanya?”. Aku bertanya dengan sedikit nada menyelidik.
“iya, banyak ndri.”
Sistem otakku tidak bisa tahan membiarkan satu utas kalimat itu lepas begitu saja tanpa dibahas dengan bayanganku sendiri. Ini hal yang sering aku lakukan ketika habis berbicara dengan seseorang, meretas makna yang ingin kumaknai sendiri, lalu menunggu hingga waktu menunjukkan apa sebenarnya maksud dari secuil frase kehidupan itu. Dalam kata-kata sebagai refleksi dari kejadian demi kejadian.
Kejadian tentang seseorang yang mengatakan “dia mencintaiku apa adanya, bukan karena ada apanya”.
Apa yang “apa adanya”.
Baiklah, kita ambil kasus asmara sahabatku itu saja. Dia melihat sebuah aplikasi dari “mencintai apa adanya” dari cara seorang wanita yang mencintainya selama 8 tahun. 5 tahun cinta berbalas yang bahagia dan tiba-tiba terhenti begitu saja ketika satu dari mereka tidak bisa menerima kebiasaan yang dinilai buruk oleh yang lainnya, dan lainnya menggapnya baik. 5 tahun cinta itu kandas. 3 tahun tanpa kata-kata, 3 tahun tanpa apa-apa. Ketika satu “takdir Tuhan” mempertemukan kembali, singkat saja, hanya 3 minggu, seorang calon pengantin pria mengatakan “dia mencintaiku apa adanya”.
Apa yang “ada apanya”.
Untuk mengkaji bagaimana sebuah cinta atau kasih sayang dikatakan “apa adanya”, selalu membutuhkan perbandingan untuk mengukurnya. Bagiku semua hal didunia ini ada timbal baliknya, kecuali satu hal : pemilik kehidupan. Aku sempat beberapa kali terpancing dengan pertanyaan seorang teman “apakah Tuhan itu ada? Bagaimana kamu percaya kalo Dia ada, wujudnya tidak ada. Makanya aku tidak percaya Tuhan itu ada”. Seorang teman yang mempelajari sedikit tentang teologi, menyarankanku untuk membalasnya dengan kalimat ini : “bagaimana kamu percaya kalo Tuhan itu tidak ada? Kamu punya bukti?”. Batas ruang otak pola pikir manusia selalu mempersepsikan ada itu sebagai sebuah wujud. Yang ada bentuk, ada dimensinya. Padahal dia percaya pada rasa cinta, yang dia rasakan, tapi tidak pernah terlihat wujudnya.
Kembali ke perbandingan tentang “apa adanya” dan “ada apanya”.
Interpretasi dari sebuah kalimat “ …bukan ada apanya” adalah mungkin saja dia pernah mengalami beberapa kali cinta sesaat dengan seorang gadis cantik yang selalu bangga jika mereka jalan bareng, dijemput dengan mobil, makan ditempat yang mewah, atau mungkin karena sekedar pria itu ganteng. Itukah konsep “ada apanya”?
Sudahlah, setuju saja, sekalipun sempit, aku pikir itu yang paling bisa dimengerti. Hehehe..
Nah, cakupan mengenai dua frase ini cukup luas. 2 kata yang di bolak-balik akan menghasilkan makna yang jauh berbeda.
“apa adanya” berarti melepaskan berbagai atribut dari diri seseorang. Mungkin tidak hanya orang, tapi juga benda, atau apalah. Cara pandangnya seperti ini : menerima dengan damai apa yang ada dihadapannya. Tanpa menuntut sesuatu lagi. Mostly, hal ini disangkut pautkan dengan namanya “perasaan”. Misalnya ketika aku sedang menyukai seseorang, it is just like that. Percayalah, ketika aku menyukai seseorang dengan apa adanya, aku tidak pernah berkata apa-apa dan menuntut apa-apa dari orang itu, bahkan mungkin berusaha mengenalnya saja aku tidak mau. Aku ingin tahu apa hal itu benar-benar apa adanya? Selanjutnya terserah pada takdir Tuhan.
Ahahaha… geli sendiri menggunakan perumpamaan diri sendiri. Some friends might gonna say : “punya feeling sama seseorang juga ndri?”.
Well, well, percayalah, kesulitan bagi diriku nantinya untuk mengatakan bahwa aku benar-benar sedang menyukai seseorang karena banyak ketakutan bahwa apakah lingkunganku yang ada sekarang akan bisa menerima sesuatu yang baru dalam perasaanku, bahkan mungkin seseorang yang baru masuk dalam kehidupanku yang bisa saja mengubah sesuatu dalam diriku. Aku percaya, setiap satu kali kita mengenal seseorang, ada satu titik perubahan yang terjadi dalam diri kita, entah itu terasa atau tidak. Pasti ada.
Sorry, sorry, jadi merembet kemana-mana. Kembali ke “apa adanya”. Sederhana saja, hati kecil atau nurani sebagai bawaan lahir yang menyimpan sebagian dari sifat Tuhan akan menerima sesuatu objek tersebut begitu saja, hati nurani menerima hal itu seperti sesuatu yang memang untuk dihadapi. Jadi misalnya kalo tiba-tiba jatuh cinta, yasudah, hadapi saja kamu sedang jatuh cinta. Oke. Sampai disini, bisa disimpulkan bahwa sebuah konsep “apa adanya” itu berasal dari hati nurani manusia.
Lawan dari itu biasanya tidak lain adalah otak, pikiran. Apa mungkin disini terletak inti dari konsep “ada apanya”? mungkin saja. Ketika aku mungkin, memiliki teman seorang pria ganteng, tajir pula yang lagi pedekate. Tidak ada perasaan apa-apa aku padanya, hanya, melihat dia punya segala yang diinginkan kebanyakan cewek mungkin (which is ganteng dan tajir bok!) maka aku mungkin akan nerima dia jadi pacarku. Sepertinya konsep “ada apanya” bisa dijadikan opsi dalam mengambil keputusan menerima atau menolak ajakan pacaran si cowok tadi. I mean, ketika aku pikir aku tidak jua suka padanya dengan “apa adanya”, maka aku memilih untuk menjadikan “ada apanya” sebagai alasan aku mau jadi pacarnya. Lantas apa itu salah?
Tidak. Hanya saja konotasi itu selalu negatif, selalu buruk.
However, dari tadi bahas cinta cintaan melulu. Ahahaha… bahasan yang tidak pernah mati, dan bahasan yang paling sering dialami oleh umat manusia. Jarang-jarang ada orang yang butuh segera curhat kepada sahabat yang ia percayai selain masalah cinta, asmara, daripada masalah pelajaran. Akan terdengar konyol sepertinya seorang sahabat yang menelpon mengatakan ini “aku butuh ketemu nih, aku pengin curhat soal pelajaran tadi yang benar2 membosankan”, dibanding jika ditelepon dia mengatakan “aku butuh curhat, pacarku mulai membosankan”. Yang terakhir terdengar lebih wajar bukan?
Yah..masalah cinta selalu terlihat penting dalam kehidupan mereka yang mementingkan perasaan. Karena menyangkut perasaan selalu terlalu peka. Padahal entah kapan mereka mau jera merasakan sakit hati berkali-kali, tapi tetap juga berulang lagi. Aneh (emang aku engga?? ah, kaenya enggak deh. *ngeles mode on*).
Dalam sebuah seminar kewirausahaan yang aku hadiri beberapa hari yang lalu (yang sempat membuatku tiba-tiba drop), seorang narasumber yang berstatus anak-muda-ganteng-kaya-beristri satu-hamil-empat-bulan bertanya kepada kami audiens. jika kamu hanya disuruh memilih ¾ dari bagian tubuhmu,wich is ¼ bagian pertama dari lutut kabawah, ¼ bagian kedua dari lutut keatas hingga pinggang, ¼ bagian ketiga dari pinggang hingga leher, dan ¼ bagian terakhir dari leher hingga kepala. ¼ bagian mana yang ingin kamu lepaskan?
Beberapa audiens akan menjawab : saya memilih melepaskan ¼ bagian yang pertama. Dan mostly seluruh audiens setuju dengan pendapat beberapa itu, termasuk aku . Narasumber lalu bilang, jika kamu ingin memulai sesuatu, kamu butuh keberanian untuk memulainya, maka lepaskan kepalamu! Tinggalkan usaha dari kaki yang masih bisa berjalan, nafsu dan semangat untuk memulai. Sebab untuk memulai sesuatu, ketika otak diajak berbicara, dia akan dengan sangat brilliant nya menghaslikan berbagai “excuse” yang menghalangi kamu untuk melakukan sesuatu. Dianggapnya produk otak tersebut yang paling pantas di dengar karena berbagai logika kemanusiawian yang dimunculkan, padahal yang paling bisa dipercaya adalah hati nurani, tempat Tuhan meminjamkan sedikit dari sifat-sifat keagunganNya. Hati nurani itu kan masih tertinggal pada ¼ bagian yang ketiga.
So if you want to do something, stop analyzing, just do it. Do rockin’ beibeh! :D
Maafkan saya karena terlalu berbelit-belit dan sama sekali tidak fokus! *dimaafkan* terima kasih.
Pokoknya, intinya menurut aku, frase tentang “apa adanya” lebih mengarah pada pembelaan atas perasaan yang tiba-tiba muncul tentang mencintai, menyukai, mengagumi seseorang, atau bukan orang. Sedangkan frase “ada apanya” adalah produk otak sebagai bagian dari kebutuhan akan atribut yang selalu dikedepankan untuk dilihat, sebagai sebuah eksistensi untuk dimiliki. Padahal esensinya kembali pada poin nomer satu. Hati nurani. Jantung.
Demikianlah pembahasan yang tidak jelas ini, harap maklum, tinggalkan sesuatu untuk dijadikan bahan masukan. Bergunalah untuk hidup orang lain.
Jadi ingat kata-kata semangat dari seorang anak-muda-ganteng-kaya-beristri satu-hamil-empat-bulan : Tuhan, cabut nyawa saya hari ini jika saya tidak bisa membawa manfaat bagi orang lain!!! *suara lantang, tangan dikepal keatas sementara audiens berdiri pada posisi seperti akan mengheningkan cipta dengan tangan disingsingkan ke jantung. Ketika itu sang saka merah-hitam-putih sedang dikibarkan* (emang acmilan??)
Ahahahah..ngaco! sudahla. Off by now, maybe later will be better.
Last but not least. I heart you BOS! Ada apanya… :)
..
1 komentar:
salam kenal.. :)
Gmana? dah dapet tempat camping..
Posting Komentar