14.9.09

one two three four

Aku belajar banyak kali ini. Mulai dari cetivasi-cetivasi yang menumpuk di mailbox yahoo ku selama 6 bulan terakhir, kisah-kisah indah yang sarat pelajaran bermakna dari 'a cup of comfort' yang baru kuselesaikan separuhnya, insting seorang istri yang kupelajari dari sepenggal cerita tadi malam, dan.. kemunafikan salah satu orang yang paling dekat denganku (kemarin salah satu yg lain, kali ini beda lagi).

Beberapa cetivasi yang sempat terbaca (kira-kira ada 7/8 email) semuanya berbentuk berita. Tak banyak menginspirasi lahirnya motivasi seperti cerita tentang kasus penipuan-penipuan pada pengguna kartu kredit hasil copas dari detik.com, selebihnya, beberapa cerita yang tidak asing. Hanya satu kumpulan paragraf yang habis kubaca. Tentang "kidult". Pernah tau tidak? Kidult adl singkatan dari kids adult, artinya seorang dewasa yang masih bersikap kanak-kanak. Istilah ini rupanya sudah lama ditemukan. Berikut kutipan cetivasi :

Orang Dewasa Yang Kekanak-Kanakan

(Mencari Rasa Aman)


Mengintip situs WIKIPEDIA, istilah kidult (dari kata KID dan ADULT) pertama kali muncul pada decade 80-an. Di perkenalkan oleh psikolog kondang Amrik Jim Ward Nichols dari Stevens Institute of Technology. Kidult adalah sebutan bagi orang – orang usia 20 tahun ke atas yang masih enjoy menikmati budaya kanak – kanak, atau remaja belasan, baik secara fisik/ penampilan, gaya hidup, maupun pemikiran, yang sesungguhnya tidak cocok lagi bagi usia mereka.

Ada banyak contoh yang bisa di kategorikan kidult. Misal, wanita umur 32 tahun yang masih senang pakai blus berenda – renda dengan pita warna pink atau pria umur 35 tahun yang masih gemar meluangkan waktunya main play station, sampai para pacar atau istri geregetan (ngakak!), atau bagi mereka yang “takut” menikah hanya karena enggan memikul tanggung jawab besar, kalaupun sudah menikah, mereka tetap menggantungkan hidup pada orang tua. Singkat kata, mereka adalah orang – orang yang “menolak” jadi dewasa karena tidak mau kehilangan zona aman sebagai anak – anak, yang biasanya tidak menuntut tanggung jawab besar.

Surat kabar The New York Times edisi 31 Agustus 2003 pernah memuat tulisan investigative makin maraknya fenomena kidult di Amerika, soalnya di Amerika sendiri “tradisi” keluar rumah sesudah mereka bekerja bahkan masih kuliah adalah hal biasa, jika kemudian hari ada fenomena “tinggal bersama” orang tua, meskipun bisa di bilang sudah bekerja mapan, atau kuliah sambil bekerja, pastilah jadi hal yang luar biasa bagi masyarakat Amerika. Sedangkan di Australia menurut ahli kependudukan Bernard Salt, fenomena kidult mulai menjakiti mereka yang berumur 25 tahun ke atas. Mereka menunda pernikahan, menunda punya anak, menunda membeli rumah, lebih memilih keliling dunia ketimbang hidup mapan, memperlakukan karier dan relationship sebagai ajang coba – coba, membelanjakan uang seolah dunia mau kiamat. Fenomena kidult sebenarnya sudah ada di awal tahun 60 an, namun 10 tahun belakangan ini mengalami peningkatan luar biasa. Dalam situs Med Magazine, banyak nama – nama untuk orang kidult, antara lain middlescent, middle-youth, adultscent, peterpans, dan grups ( singakatan dari grow – ups).

Nah, pengaruh terbesar sampai terjadinya fenomena kidult di negara – negara maju tersebut, kebanyakan di akibatkan oleh kondisi perekonomian yang mapan (bagi generasi orang tua mereka), lapangan kerja yang makin kompetitif (bagi kaum muda), harga – harga yang makin mahal, hingga gaya hidup yang makin hidonistis. Alhasil, orang tua sering di jadikan “bank pribadi” bagi anak – anak mereka yang merasa “kurang beruntung”


Peran Keluarga Besar
Lha terus bagaimana di Indonesia sendiri? menurut sosiolog V. Sundari Handoko, fenomena kidult bisa saja terjadi di Indonesia meski belum ada penelitian khusus. Tapi, budaya di Indonesia sejak dulu hingga sekarang berlaku extended family (keluarga besar), dengan karakeristik komunal dan memiliki ikatan emosional tinggi satu sama lain. Dalam ikatan ini, ada kewajiban saling membantu, dan karena biasanya orang tua yang lebih mapan baik secara ekonomi maupun pengalaman, maka orang tualah yang paling sering membantu anak – anaknya (meski sudah dewasa, bahkan menikah dan memiliki penghasilan sendiri). Ironisnya, disisi lain, sebagai keluarga besar (misalnya trah atau marga) mereka juga saling berkompetisi, alhasil kalau ada salah seorang anak yang terlibat kesulitan, sebisa mungkin orang tua membantu, kalau anak di biarkan gagal, hal itu bisa menjadi aib di mata keluarga besar.

Jadi, kalaupun di Indonesia ada fenomena kidult, penyebab utama adalah karena ketidak mandirian dan kemanjaan si anak.

Meski sekarang banyak orang tua yang “berani” melepas anak – anaknya untuk sekolah ke luar negri atau luar kota, hal ini tidak berarti membuat si anak mandiri. Tak jarang orang tua menyediakan rumah kontrakan lengkap dengan pembantu, uang mingguan, kalau perlu di telpon tiga kali sehari.

Ini beda sama penduduk desa atau daerah. Mereka petarung sejati, tidak saja merantau ke luar daerah, bahkan ke luar negri menjadi TKI. Dari mereka, bisa menghasilkan remittance hingga milyaran rupiah. Sebaliknya orang kota yang menganggap “lebih” di banding orang daerah, sering kali mempunyai anak – anak yang tumbuh menjadi kidult. Karena, atas nama cinta dan kehormatan keluarga, orang tua selalu siap membantu setiap kali anak – anaknya mendapat kesulitan hidup dalam menghadapi kerasnya hidup.

Lantas Bagaimana Bisa Tumbuh Menjadi Kidult?
Lusia Ratrining Sari mengupas dari sudut teori psikologi. Menurut dia, perjalanan hidup manusia di bagi dalam beberapa kelompok, dan setiap kelompok umur memiliki tugas perkembangan sendiri. Dari masa bayi, remaja, hingga dewasa. Pada orang kidult, sifat kekanak – kanakan harusnya sudah selesai dan ternyata masih berlangsung. Baik dari penampilan, emosional, kepribadian, dan pola pikir. Mereka selalu membutuhkan orang lain (bahkan orang tua) dalam mengambil keputusan, kalau kemauannya di tolak langsung ngambek, ngomel, atau malah balik menyerang, enggan memikul tanggung jawab yang besar dan sebagainya.

Lusi juga menambahkan, kalau kidult tidak ada hubungannya dengan inteligensi seseorang. Banyak juga kidult yang cerdas, mempunyai pekerjaan mapan, dan karier cemerlang. Tak jarang, justru mereka bisa membuat argumen – argumen pembenaran atau rasionalisasi bagi sifat kekanakannya.

Perangai kidult juga di sebabkan berbagai faktor seperti pola asuh orang tua, pengaruh lingkungan, trauma masa lalu, struktur dasar kepribadian orang itu sendiri, bahkan semuanya. Namun tak dapat di sangkal, pola asuh orang tualah yang berperan besar. Setiap orang tua (bahkan hewan) punya naluri untuk melindungi anak – anaknya dari marabahaya atau kesulitan. Apalagi, di Indonesia dimana ikatan kekeluargaan masih relative kuat, rasanya sering sekali kita dengar orang tua mengatakan “untuk apa lagi sih, kita mencari uang kalau bukan untuk anak”

Di lain pihak, tak sedikit orang tua yang ingin tetap merasa berarti buat anak – anaknya meski mereka sudah dewasa dan berkeluarga dengan tetap mengulurkan bantuan buat anak – anaknya. Dengan kata lain, tanpa sadar mereka terus menciptakan ketergantuangan pada si anak.

Celakanya, tak sedikit juga orang tua yang semasa mudanya adalah “petarung hidup”, justru tidak mau mewariskan jiwa petarungnya kepada anak – anak mereka dengan alasan “biarlah kami saja yang mengalami kepahitan hidup. Anak – anak jangan sampai mengalaminya juga” yang akhirnya justru melahirkan anak – anak kidult.

Padahal, yang tak kalah penting untuk di ingat, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi. Orang tua bisa sewaktu – waktu meninggal, dan harta bisa ludes dalam sekejap. Pada saat – saat itulah kemandirian seseorang baik secara phisik maupun emosional menjadi berperan.

So, which one are you?


Dari separuh "cup of comfort" yg berhasil ku'seruput', aku punya 2 cerita favorit : 1. Thelma Rae dan 2. Persaudaraan Suci. Biar kuceritakan bagian menarik dari kisah ini.
Thelma Rae mengurai kisah persahabatan seorang ibu dgn anak gadisnya. Aku suka bagian aksioma-aksioma yang diwejangkan ibu kepada putrinya, dan yang paling bagus adalah ketika ibu mengatakan "jangan pernah berharap menemukan orang yang sempurna, tapi pilihlah seseorang dengan kekurangan yang dapat kau atasi". Sederhana dan lugas. Aku mungkin akan lebih mengidolakan aksioma ini jika saja aku tidak sedang membaca hasil sadurannya.
Kita pasti sudah sering mendengar kalimat "Nobody's Perfect" (aku pernah lho menemukan frasa ini pada logo trademark), dan kita meyakininya, tapi tak pernah benar-benar memahaminya. Aku pun demikian. Frasa itu lalu menjadi sekedar frasa basi pada akhirnya. Kalimat lain yang ladzim ku dapati pada kamus kalimat bijak teman-temanku adl : cara kita adl bukan dgn mencintai seorang yang sempurna, tapi cintailah seseorang dengan cara yang sempurna. Lugas dan Logiskah? Buatku belum menyentuh banyak hal tentang bagaimana bersikap terhadap orang-orang spesial yang datang dalam hidupmu, tapi aksioma tsb menyentuh lebih banyak, membuatku mengangguk tanda setuju. Pilihlah seseorang dgn kekurangan yang dapat kau atasi.

Tentang pesaudaraan suci, aku tau rasanya membaca ini seperti membaca buku cerita kelas 2 SMP favoritku : Bridge To Terabithia, menyentuh, padahal singkat saja, persahabatan sekaligus persaudaraan dua anak kecil. Persahabatan mereka yang tulus membuatnya tampak mirip, tapi tidak menjadi bagian paling menarik. Yang paling menarik adl bagian anak kecil itu menangis dan takut pulang kerumah sebab ketakutan dimarahi Ayah gara-gara laporan nilai yang lagi-lagi jelek. Seperti memutar pita film masa lalu. Haha.. :">

Hmm.. Menyoal insting seorang istri, ini urusan rumah tangga orang. Tapi percayalah pada kontak batin yang tercipta padanya. Aku percaya. Aku punya kalimat menarik yang kukutip dari daun pintu dirumah sempit itu : tidaklah mulia seorang laki-laki yang tidak memuliakan perempuan. Dan Tuhan punya alasan mengapa perempuan ditempatkan pada kodrat sebagai tulang rusuk seorang laki-laki- bukan sebagai bagian lain, Mereka punya posisi mulia, karena Tuhan Maha Adil.

Bicara tentang kemunafikan, I've been thru it a lot, and I exactly know how to handle it. Yang jadi masalah adalah orang munafik itu tak akan pernah bisa hidup jauh dariku. Rasanya tidak percaya karena dia sudah cukup dewasa untuk berpikir. Rasanya sedih mendengar kalimat-kalimat palsunya diucapkan oleh mulutnya sendiri. Aku tidak akan banyak bicara, tapi aku jelas-jelas kecewa diracuni oleh salah satu bagian kecil dari hatiku. Ketika tau siapa yang melukaiku, aku diam dan bilang secara jelas "KAMU MEMANG BUKAN ORANG YANG LAYAK DIPERCAYA". Dia diam, mimik wajahnya berubah, dan tidak seceria sebelumnya. Aku harap dia tahu telah membuatku kecewa.

Belakangan aku melalui hari-hari yang cukup berat. Merasa tertampar berkali-kali. Dan hampir mencoba bunuh diri (I swear! XD). Tapi aku masih disini. Masih bisa mencoba membantu mempertajam daya ingatku dengan mencatat beberapa hal yang seharusnya tidak perlu diingat (*cetivasi). Aku masih bisa berdiri tegak. Cause everybody's hurt, everybody's mistaking, and trouble keeps me human-

5.9.09

Let it go..

Aku belum lupa rasanya mendengar lagu ini : Greatest love of all. Lagu kemenangan atas egoku, dulu. Dan kini kurasakan lagi. Aku baru saja merasa luluh lantah karena kehilangan dukungan dari orang yang ku kira harus sangat kusayangi dan kuhormati. Aku merasa kehilangan itu sebelum aku benar-benar pernah merasakannya. Aku yakin masih mencintainya sebab hatiku selalu sakit setiap kali mengingatnya, dan sepertinya aku akan mengamini perkataan orang-orang tentang cinta hanya berbeda tipis rasanya dengan benci. Aku merasa ditinggalkan, padahal aku butuh penjelasan yang menanyakan : pernahkah kau menanyaiku tentang bagaimana rasanya menjalani sekian banyak tanggung jawab seketika?? Aku memang tidak pernah dekat dengannya, tak pernah begitu dekat. Aku tak pernah bercerita begitu banyak hal kepadanya, dan aku tidak pernah ingin berusaha karena setiap kali aku baru memulai akan mengatakan sesuatu, aku runtuh.

Aku tidak merasakan memilikinya lagi, dan aku berdosa bahkan pernah berpikir seperti ini. Tuhan... jika dia memang masih mencintaiku, seharusnya ada penjelasan untuk pertanyaanku kan? Tapi dia tidak menjawabku, karena dia memang tidak pernah bertanya dan tidak pernah mau tau, bagaimana rasanya menjadi diriku.

Maafkan aku,
karena dimatamu, "Aku Bersalah".

Sejak kecil kita tidak pernah dibiarkan terbiasa mengatakan maaf ketika satu dari kita saling menyakiti. Yang ada, ketika salah satunya bersalah, maka ia akan mendapat teguran dan hukuman dari Ibu, atau Ayah. Bagi pihak yang benar, merasa menang. Setelahnya tidak ada kata-kata maaf yang akan terucap atas kesalahan dari pihak terhukum dan sang pemenang. Kami memang bersaudara, dan itu bukan masalah. Sebab sebesar apapun masalah, tidak akan membuat kita menjadi "mantan saudara", karena selamanya kita tetap bersaudara. Erat atau tidak, orang-orang akan tetap menyebut kita saudara, meski hanya sekedar sebutan.

Tapi beranjak dewasa, aku mulai sadar, hal-hal seperti itu yang membuatku merasa aneh bila harus meminta maaf, bahkan cenderung arogan dan berbuat sesuatu yang membuatku tampak menjadi pemenang, bukankah pemenang tidak selamanya dari pihak yang benar bukan? Itu hanya trik, membuat diriku selalu tampak suci dan menghindari kalimat "aku minta maaf", kepada siapapun.

Aku tidak mengkritik bagaimana pola didikan orang tuaku dulu, paling tidak aku tumbuh menjadi seseorang yang kuat dan tegas meski kadang-kadang dipandang arogan. Tapi aku belajar untuk bangkit dan belajar lagi dari banyak hal, termasuk pertengkaran-pertengkaran kecil yang masih terjadi pada sepasang saudara yang sudah dewasa, yang lebih menyakitkan. Tapi sekali lagi, tidak bisa membuatku atau adiku, atau kakaku mengatakan "aku minta maaf" ketika kedewasaan membuat kita sadar siapa yang bersalah. Aku sedih, karena aku masih disokong erat dengan ego.

Playlistku dengan cantiknya memainkan bait ini, tepat ketika aku menekan ENTER.

Let it go
Let it roll right off your shoulder
Don't you know
The hardest part is over
Let it in
Let your clarity define you
In the end
We will only just remember how it feels..


Satu masalah kecil akhirnya berlalu (lagi), tanpa kata maaf dari siapapun yang merasa bersalah. Tapi waktu lagi-lagi membuktikan kesetiaannya padaku, dia akan membuat semuanya baik-baik saja, dengan sadar atau tidak, sesungguhnya semua masalah harus diselesaikan sebagaimana itu dimulai, sengaja atau tidak.

1.9.09

another 1st day..

“First day on September _”
“First day on my 2nd trimester _”

Well, it’s been hard in this last 4 months. I was facing tough circumstances – my postgraduate, becoming a ma-pa of my both brother and sister, and so many thing to handle. Everything’s just going too fast. It is not a moan. But I feel like I’m on to something I’ve never imagined to come this early in my age. Making up with responsibilities. I don’t know what to call this: a chance or a must.

What I got from my postgraduate 1st trimester is having higher capability in reading “English paper” at least. I got the line on my learning curve rise up. I am off with ancient history about what I’ve been studied before, at first I actually feel so obsolete, but I am NOTHING by then, cause once you know something, you’ll feel that you haven’t know anything, there are too much!

Handling stuff, ah that’s business, and I love being busy since I don’t remember when. Taking care of my siblings, it takes too much in me. I have to be patient, instead of keeping on that ego, and it is harder regarding that I've done so many things before with nothing to ponder, nothing to consider.

Sometimes I feel like "it is harder to make up with those responsibilities but somebody screw me a lot in my effort doing it".

I have to be struggle by then.
Let all things out naturally.
And for my self's sake, I'd stay on my way.