25.12.11

in my mind : The Winner Stands Alone

7.26pm. Baru saja menyelesaikan satu novel 400an halaman, karya Paulo Coelho : The Winner Stands Alone. As always, tulisan si bapak satu ini memang memukau. Pemilihan tema yang tidak biasa sehingga sulit sekali menebak karya selanjutnya; muatan tulisan yang sangat mendetil – terbayang gimana riweuhnya proses riset selama penulisan serta luasnya jejaring koneksi yang ia miliki; kesan dan pesan yang kuat tersampaikan dengan baik.

Tulisan ini bukan akan memuat tentang review dari buku itu. Tulisan ini simply hanya beberapa catatan yang tersangkut dikepala beberapa saat setelah membaca buku itu.

Tag line dibelakang buku mungkin bisa bilang bahwa “kejayaan bisa berubah menjadi racun” atau whatsoever. Pesan kuat dari buku ini memang sangat jelas bahwa “kesuksesan dan kejayaan terkadang membuat manusia menjadi bingung mau kemana lagi”. Bagi saya buku ini membawa pesan bahwa kita harus bersyukur, apapun kondisi kita. Nyambungnya dimana ya? :D

Dari buku diceritakan tentang keadaan orang-orang superclass yang telah memiliki hampir segalanya dalam hidupnya, yang mereka raih tidak sekedar saja- semisal terlahir dari seorang yang kaya ataupun menang lotere atau bisa saja dapat sumbangan yang tiba-tiba sangat besar seperti kisah TKI yang baru pulang dari Arab Saudi dimana ia terbebas dari hukum pancung *ngelindur*- tapi dari usaha dan kerja keras serta mimpi yang terus diyakini. Tokoh utama digambarkan sedang sangat frustasi setelah ditinggal cerai oleh seorang wanita yang sangat ia cintai, alasannya si wanita tidak tahan melihat perubahan pada suaminya setelah merasakan kejayaan yang terus-menerus ingin ia tumpuk bahkan melupakan perjanjian mereka tentang keinginan untuk pada akhirnya hidup sederhana suatu saat nanti ketika mereka sampai pada batas kejayaan yang mereka inginkan. Namun pada perjalanannya sang suami tidak pernah puas dengan apa yang ia peroleh sehingga selalu merasa belum cukup untuk mengumpulkan pundi-pundi kejayaan dan nama besar untuk hidup nyaman dan sederhana bersama sang istri. Belum berhenti sampai disini.

Tokoh pria lain yang merupakan orang ketiga dalam pernikahan pria pertama juga merupakan seorang pebisnis (desainer) sukses yang –sama dengan pria pertama-juga merangkak dari bawah. Meski telah memiliki apa yang telah ia cari dalam hidup ketika hidupnya masih susah, ia berupaya terus bertahan dan ingin terus mendaki puncak kejayaan yang lain. Di buku diceritakan, selain sukses sebagai desainer terkenal dan tergolong superclass, ia sedang merencanakan untuk menjadi produser sinema yang ia rancang untuk memperkenalkan sukunya pada dunia. Intinya ia ingin mencapai puncak kejayaan yang lain yang berbeda dari dunianya sebelumnya dan ketika hampir mendakinya, ia gagal karena actor utama terbunuh (silahkan baca sendiri bukunya :P).

Apa persamaan keduanya? Lack of feeling enough is enough. Kurangnya rasa bersyukur. Si pria nomer satu yang dengan kejayaan yang terus ia pupuk tidak pernah puas dengan apa yang ia miliki sehingga ia semakin dan semakin lupa bahwa banyak kejadian-kejadian kecil yang patut ia jaga, dan utama adalah cinta keluarganya. Karena perasaan yang tidak pernah merasa cukup ia tidak pernah bisa memenuhi keinginan istrinya untuk berhenti dan menikmati hidup mereka berdua dengan bebas tanpa janji penting atau rapat yang konyol. Karena tidak pernah merasa cukup, ia lupa bahwa kadang-kadang memberikan seikat bunga sebagai tanda cinta itu lebih penting dari sekian kemewahan yang memang mampu terbeli.

Pria nomer dua, dia belum cukup puas dengan kejayaannya yang sudah jelas didepan mata sehingga dia lupa untuk bersyukur dan berkata cukup atas apa yang ia miliki. Nafsu untuk mendaki gunung yang lain padahal kapasitasnya tidak memungkinkan –ditambah semesta yang tidak merestui- membuatnya jatuh bahkan sebelum mulai mendakinya. Ia lupa pada tujuan awal.

Apa yang tertangkap disini adalah bahwa ternyata kita memang perlu mengatakan “cukup”. Cukup untuk berbahagia meski hanya diberikan cincin perak padahal berharap cincin emas, cukup untuk bersyukur jika makanan yang terhidang hanya tahu-tempe padahal pengin makan steak, cukup untuk merasa bahagia, cukup untuk kemudian menikmatinya.

Ada satu omongan yang saya ingat pernah dikatakan oleh salah seorang teman Malaysian saya, ketika itu saya mengatakan akan berkarir dan melanjutkan sekolah ke jenjang S2. Dia mengatakanbahwa menjadi wanita memang harus memilih, karena tidak akan mampu menjadi keduanya : seorang wanita karir yang sukses sekaligus menjadi ibu yang sukses berkeluarga (kebayang kan bagaimana riweuhnya mengurus keluarga). Ketika kita memutuskan untuk terus berjalan menapaki tangga menuju puncak karier, akan ada banyak hal esensi yang terlupakan - keluarga yang utama- tanpa disadari. Ketika kita tiba dipuncak, barulah kita sadar bahwa banyak hal yang telah dikorbankan demi sebuah titip puncak yang pada akhirnya mencapai kesana justru membuat kita bingung ingin kemana, sebab satu-satunya jalan adalah menapak turun kembali.

Tidak ada komentar: